Ginan Koesmayadi & Rumah Cemara
Bertahun-tahun menjadi pengidap HIV/AIDS tak
membuat Deradjat Ginandjar Koesmayadi berputus asa. Dia tetap
bersemangat melakoni hidupnya. Puncaknya, dia berhasil terpilih sebagai
pemain terbaik di ajang Homeless World Cup 2011 di Paris, Prancis.
Penampilan Ginan (panggilan akrab Ginandjar) sekilas tak meyakinkan
bahwa dia seorang atlet. Tingginya “hanya” 160 sentimeter, model rambut
ala mohawk, dan badannya dipenuhi tato.
Namun, Ginan berhasil membuktikan bahwa dia mampu membawa harum nama
bangsa di kancah internasional. Di ajang Homeless World Cup 2011 yang
dihelat di Paris, Prancis, Agustus lalu, Ginan meraih predikat sebagai
pemain terbaik.
Homeless World Cup 2011 adalah ajang sepak bola jalanan yang diikuti
komunitas tunawisma. Pesertanya anggota komunitas yang kurang beruntung,
seperti pecandu narkoba, penderita HIV/AIDS, dan lain-lain.
“Penghargaan ini adalah anugerah terbesar dalam seumur hidup saya,” kata Ginan .
Dia tidak pernah menyangka bakal
meraih prestasi dari lapangan sepak bola setelah bertanding melawan
negara-negara yang selama ini dikenal lebih kuat dari Indonesia.
“Saya merasa tidak percaya dengan apa yang saya dapatkan ini. Mengalahkan Italia, Irlandia, dan yang terhebat kami pernah mengalahkan juara dunia homeless, Skotlandia,” katanya.
Di perhelatan Homeless World Cup 2011 itu, Indonesia menjadi
satu-satunya wakil Asia yang melangkah ke perempat final. Indonesia
mengalahkan Italia, Denmark, Belanda, dan Nigeria.
Ginan sampai sekarang kadang masih merasa tidak percaya bahwa dirinya adalah peraih gelar pemain
terbaik. Bukan hanya itu. Pria 31 tahun tersebut juga merasakan coaching
clinic di Inggris yang dijalaninya seperti sebuah mimpi.
“Merasakan rumput stadion bagus di markas peserta di liga Inggris,
bermain di sana, dan mewakili negara, itu semua masih seperti mimpi,”
ceritanya.
Lajang asli Bandung itu memaparkan, gelar yang dia dapatkan tersebut
bukan hanya karena permainan di atas lapangan. Dengan hanya mencetak
empat gol, itu tentu sulit. Namun, kriteria lain yang membuatnya menjadi
pemain terbaik adalah dirinya dianggap leader yang bermain secara fair
play.
Artinya, dia dianggap bisa membangkitkan semangat rekan-rekan di
lapangan, memotivasi, dan membuat perubahan yang signifikan. Alhasil,
timnya bisa membalikkan keadaan setelah tertinggal cukup jauh.
Contohnya saal melawan Irlandia. Saat itu Indonesia tertinggal. Tapi,
berkat semangat pantang menyerah dan mau berusaha bersama-sama dengan
anggota tim, keputusasaan hilang. Indonesia akhirnya berhasil
membalikkan keadaan dan menang dengan skor 7-6. Demikian juga saat
melawan Skotlandia. Dari awalnya tertinggal, skor bisa disamakan menjadi
8-8 dan akhirnya Indonesia menang lewat adu penalti.
Ginan lantas mengisahkan penggalan hidupnya. Dia mulai tertarik pada
sepak bola ketika bertekad ingin membuat perubahan dalam hidupnya. Saat
itu pada 2003, tiga tahun setelah dia divonis mengidap virus HIV,
bersama empat temannya, Ginan mendirikan Rumah Cemara. Ini adalah sebuah
komunitas yang menjadi tempat berkumpul orang yang pernah hidup dengan
narkoba. Juga mereka yang akhirnya terkena HIV/AIDS.
“Kami awalnya hanya menjadi rumah berkumpul dan berbagi pengalaman
bagi mereka yang pernah hidup dengan narkoba dan sampai ada yang terkena
HIV. Tujuannya, agar bisa menjalani hal yang positif,” beber lulusan
ilmu pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut.
Ginan menjelaskan, sepak bola memang menjadi salah satu jalan yang
membuat dirinya bisa kembali bahagia menjalani hidup meski telah positif
mengidap HIV. Dia bisa menyalurkan kreativitasnya di tengah
keterbatasan kondisi tubuh yang digerogoti virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh itu.
Dia ingat betul bagaimana tubuhnya pernah berada dalam kondisi
terlemah semenjak mengidap HIV. Saat itu, lanjut Ginan, kekebalan
tubuhnya hanya berada dalam angka 138. Jauh dari angka kekebalan tubuh
(CD 4) manusia normal yang berada di angka 450.
“Saya saat itu merasa hidup saya sudah tidak akan lama lagi. Tapi,
setelah mendapatkan perawatan dan meminum obat, kondisi saya bisa
membaik,” tutur anak kedua di antara enam bersaudara itu.
Namun, Ginan menegaskan, ada hal lain yang saat itu membuat dirinya
merasa jauh lebih baik selain meminum obat. Yakni, bisa bermain sepak
bola. Dia memilih bermain sepak bola. Dia bisa merasakan kesenangan
dengan mamainkan kulit bundar bersama rekan-rekan yang lain.
Sebab, terang Ginan, HIV tidak akan bisa berkembang di dalam tubuh
dengan cepat jika kondisi mental si penderita bagus. Virus tersebut akan
lebih mudah berkembang dan melemahkan tubuh jika seorang penderita
berada dalam kondisi stres.
“Karena itu, lingkungan cukup penting bagi para pengidap HIV. Semakin
mereka bisa senang, maka mereka bisa semakin bertahan. Tapi, tetap juga
diimbangi dengan minum obat. Jadi, berimbang. Langkah medis dijalani,
langkah nonmedis untuk melahirkan kesenangan batin juga dilakukan,”
beber lelaki kelahiran 13 Juli 1980 itu.
Alhasil, dengan apa yang dijalaninya tersebut, kekebalan tubuh atau
(CD4) Ginan bisa terus meningkat dan bahkan mendekati ukuran orang
normal. Saat ini kekebalannya berada pada angka 428.
“Jangan berputus asa. Tetap bersemangat dan yakin masih bisa
melahirkan hal yang positif bagi masyarakat. Itu menjadi kunci saya
masih bisa seperti sekarang ini. Jangan pernah bersedih dan selalu
bahagiakan hati,” tuturnya.
Dengan berbagai program berkaitan dengan HIV/AIDS yang dijalankan,
Rumah Cemara berhasil mendapat bantuan dana dari para pendonor dalam
maupun luar negeri. Mereka juga mendirikan pusat rehabilitasi para
pecandu narkoba. 80 persen stafnya pengidap HIV dan beberapa lagi adalah
mereka yang pernah kecanduan,” beber Ginan.
Dari prestasi sepak bolanya, Rumah Cemara juga baru saja mendapat
hibah dana dari Australia untuk menggelar league of change. Sebuah
kompetisi sepak bola bagi mereka yang hidup seperti Ginan agar bisa
kembali bersemangat. “Kami juga tak ingin dikucilkan,” ujarnya. *
Lalu apakah Rumah Cemara ?
Rumah Cemara sendiri adalah suatu lembaga nirlaba yang didirikan
oleh orang-orang yang tadinya pecandu narkoba dan bahkan penderita HIV/AIDS.
Sebagai mantan pecandu narkoba dan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mereka banyak
menerima sanksi social dari masyarakat sekitar dan bahkan dari keluarga dekat.
Kondisi ini mendorong mereka untuk mendirikan Rumah Cemara, rumah untuk mereka
yang “tersisihkan” dari rumah.
Dengan semangat saling menolong sesama penderita dan
semangat untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman Narkoba dan HIV/AIDS
mereka tak pedulikan pendapat minor orang lain.
Tahun 2011, tim Rumah Cemara diundang oleh panitia “Homeless
– World Cup” di Perancis. Dengan semangat menggelora walau minim dukungan,
mereka berangkat ke Paris. Turnamen ini diikuti oleh 72 negara yg dikhususkan
untuk mereka yg “bermasalah dengan rumah”. Dan hasilnya, tim Rumah
Cemara yg mewakili Indonesia berhasil menduduki posisi ke-6, Best New Comer dan
Ginan Koesmayadi terpilih menjadi Best Player.
( sumber batampos & isa54 )
lebih suka sama Kisses From Kattie mba,itu alur hidup'a hampir sama kaya Bunda Teresa walau umur'a masih sangat muda
BalasHapuskl itu aku mlh blm prnh tahu..nanti cb aku browsing ya..
Hapustrimakasih kunjungannya :)
Kunjungan pertama di sini mba...blog nya byk bgt... :)
BalasHapushihi..iya nih mas..jgn bosen berkunjungdimari yaak.. :D
Hapusnyari kesempatan buat nyempetin diri kemari... mampir balik yach :)
BalasHapusokey Ghielz...trimakasih kunjungannya :)
Hapusselalu ada pelajaran dari kisah kehidupan orang lain ya.. :)
BalasHapusiya..smg bs dipetik yg bermanfaat ya :)
HapusTahun ini Rumah Cemara kembali mewakili Indonesia di ajang WC 2012 di Meksiko. Mengprang! :D
BalasHapussiippp... :D
Hapussangad menginspirasi ya bun...;-)
BalasHapusyup mimi :)
Hapus