Frederick Sitaung
“Kitorang di sini butuh guru, bukan burung!” Demikian lelucon atau mop yang populer dimasyarakat Merauke, Papua, untuk mengolok-olok guru yang sering kabur dari sekolah dan sering kelayapan ke bar atau klub malam yang menjamur dikota. Kisah guru yang kabur dan membiarkan murid tanpa guru adalah gambaran lumrah di pedalaman Merauke.
Ketika
guru lain memilih kabur, Frederick Sitaung (35) tetap bertahan menjadi
satu-satunya dikampung Poepe, Desa Welputi, Kabupaaten Merauke, Papua.
Pernah didera kelaparan sepekan, nyaris dipanah orang tua murid, hingga
gaji terlambat datang berbulan-bulan, tak membuatnya goyah.
“Saya
akan tetap menjadi guru di Poepe sampai dipindahkan atau pension,” kata
Frederick yang ditemui di sekolah tempatnya mengajar pada pertengahan
agustus 2007 lalu.
Tekad
Frederick tak bias dinggap sembarangan, mengingat Poepe terletak jauh
di pedalaman. Untuk mencapai kampong ini, kita harus naik sepeda motor
dari Merauke ke Distrik Okaba selama tujuh jam. Dua kali sepeda motor
mesti dinaikkan perahu untuk menyeberang Sungai Kumbe dan Sungai Bian.
Dari Okaba, perjalanan dilanjutkan menggunakan sepeda motor selama tiga
jam, ditambah dua jam mendayung.
Frederick
Sitaung lahir dan besar di Rante Pao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Setamat Sekolah Pendidikan Guru Rante Pao tahun 1992 ia merantau ke
Merauke menjadi guru. Pada tahun itu pula dia diterima sebagai calon
pegawai negeri sipil, dengan tugas pertama mengajar dipedalaman Poepe,
Distrik Okaba.
Sejak
saat itu Fredeick belum pernah pindah tugas mengajar ke tempat lain.
Padahal, kebanyakan guru yang mengajar di Poepe tak bertahan lama,
rata-rata bertahan satu atau dua tahun. Sudah tujuh guru yang memninta
pindah tugas dari Poepe selama 15 tahun Frederick di sini. Bisa
dikatakan, hanya Frederick dan seniornya, Papalangi (65), yang bertahan
di Poepe. Berdua, mereka berdua menjadi guru “tetap”. Juli 2007,
Papalangi pensiun setelah megajar 24 tahun. Dengan demikian, Frederick
kini satu-satunya guru sekaligus kepala sekolah. Ia mengajar 51 murid
kelas satu hingga enam.
Tugas Berat
Menjadi Guru di Pedalaman tak mudah. Frederick harus gigih mencari murid
ke hutan setiap tahun ajaran baru. “Setelah liburan, anak-anak banyak
yang tak kembali, mereka asyik di hutan. Murid baru juga harus dicari,
kami harus pintar memberi pengertian kepada orang tua agar menyekolahkan
anaknya,” tutur Frederick yang belum pernah pulang ke Rante Pao sejak
bertugas di Poepe.
Saat
ujian setiap tahun juga pekerjaan berat. Frederick harus mengantarkan
murid ke Desa Welputi yang ditempuh mendayung selama dua hari. “Kami
bawa bekal dan gentian mendayung dengan anak-anak. Kami tidur dipinggir
sungai yang banyak nyamuk dan buaya. Jadi harus gantian berjaga,”
tuturnya.
Mengajar
di kelas juga bukan pekerjaan mudah karena seringnya siswa membolos.
“Mereka bisa menghilang sampai dua bulan, jadi harus mengulang kembali
pelajaran. Namun kalau tidak naik kelas, orang tua bisa marah,” katanya.
Banyak
juga siswa yang pingsan di kelas. Mereka kelaparan karena ditinggal
orangtua ke hutan tanpa bekal makanan. Frederick pun pernah terncam mati
kelaparan.
Saat
itu musim hujan tahun 1993. Daratan di Poepe menyempit karena telah
berubah menjadi rawa-rawa. Semua orangtua pergi berburu ke hutan.
Dikampung hanya ada Frederick, Papalangi, dan 20-an murid.
“Sudah
setengah bulan para orang tua pergi,” tuturnya. Beras jatah untuk
guru—dia dan Papalangi—habis karena dibagi dengan para murid. Sementara
bantuan dari kota kecamatan tak bisa diharapkan. “Waktu itu, untuk
mencapai Poepe, perlu waktu dua pecan karena harus mendayung, menyusuri
sungai Buraka dari Okaba,” kisahnya.
Alhasil,
Frederick dan Papalangi hanya memakan daun-daunan dan ikan yang
berhasil ditangkap di rawa-rawa. “Untunglah sepekan kemudian para
orangtua datang membawa hasil buruan dan sagu,” ujarnya.
Selain
kerap terancam kelaparan, Sitaung kenyang berbagai pengalaman, mulai
dari belajar berburu buaya dan rusa untuk bertahan hidup, ditantang
berkelahi oleh murid, hingga nyaris dipanah orangtua murid.
Suatu
ketika ia menemukan sepasang murid berbuat asusila pada jam istirahat.
Ia menghukum mereka dan meminta orang tua-nya datang ke sekolah. Ketika
datang, orangtua mereka justru marah dengan panah siap dilepas. Menurut
mereka, guru tak berhak menghukum anaknya. Namun, mereka bisa diberi
pengertian.
“Terkadang
saya tak menyalahkan sepenuhnya teman guru yang kabur dari tanggung
jawab mengajar di pedalaman. Perhatian pemerintah memang minim, beras,
juga pengawas sekolah jarang yang datang,” ungkapnya.
Guru Sejati
Tak hanya mengajar anak-anak di sekolah, Frederick telah menjadi “guru” bagi masyarakat Poepe. Selama dua tahun terakhir ia merangkap sebagai pendeta sebab satu-satunya pendeta yang bertugas di sana tak pernah datang lagi. Gereja di Poepe juga dibangun atas prakarsa dia.
Tak hanya mengajar anak-anak di sekolah, Frederick telah menjadi “guru” bagi masyarakat Poepe. Selama dua tahun terakhir ia merangkap sebagai pendeta sebab satu-satunya pendeta yang bertugas di sana tak pernah datang lagi. Gereja di Poepe juga dibangun atas prakarsa dia.
Berkali-kali
ia membantu menyelesaikan konflik antarwarga, terkadang menjadi dokter
saat bidan satu-satunya dikampung pergi kekota. “Sebelum pergi, bidan
biasa menitipkan obat-obatan kepada saya. Jadi kalau ada warga sakit,
saya yang obati,” katanya.
Mulai
Juli 2007, satu-satunya bidan di Poepe, Andriana Wetino (32), juga
dipindah ke kota sehingga dikampung itu tidak ada tenaga medis. Tugas
Frederick pun semakin tambah berat.
Sungguhpun
telah bekerja keras, pengabdian Frederick masih dipandang sebelah mata
oleh pemerintah setempat. Untuk mengajukan sepeda motor dinas, guna
mengganti sepeda motor miliknya yang sudah hancur, ia harus membuat
proposal hinggah tujuh kali. Terakhir, Frederick harus datang ke Merauke
dan bersitegang dengan ajudan pejabat terkait sebelum diberi jatah
sepeda motor.
Di
tengah tugas beratnya, Frederick masih dibebani kewajiban menjaga
istri, Agustina Somolangi (34), yang terserang sakit ginjal. Belum lagi,
salah satu anaknya harus kos di Okaba untuk melanjutkan sekolah
menengah pertama. Frederick “ngos-ngosan” membiayai beban hidup keluarga
dengan gaji plus tunjangan Rp 1,8 juta. “Ini pilihan hidup saya, apapun
harus saya hadapi,” ucapnya.
Penghargaan
dan pengakuan datang dari masyarakat. Itu pula yang makin menguatkan
tekad dia. Ketua lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind-anim Distrik
Okaba, Frederickus Mahuze, mengatakan, Frederick sangat berjasa bagi
masyarakat Marind.
“Banyak
guru-guru asli Marind yang tak tahan, tetapi guru Frederick yang
asalnya jauh di Sulawesi justru 15 tahun mengabdi. Dia telah berbuat
banyak bagi masa depan anak-anak Poepe. Sayang, tak banyak guru seperti
dia,” kata Frederickus.
(sumber : http://nasriyadinasir.blogspot.com )
Komentar
Posting Komentar