Sri Bebassari "Ratu Sampah Indonesia"


Pada tahun 2008 lalu Indonesia akhirnya secara resmi memiliki undang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan sampah. Bandingkan misalnya dengan Jepang yang telah memiliki undang-undang tentang pengelolaan sampah sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, atau bahkan negara tetangga kita Singapura yang memiliki undang-undang sejenis sejak lebih dari 40 tahun silam.
“Tetap harus disyukuri akhirnya kita sudah punya UU Pengelolaan Sampah. Artinya ada perubahan positif dalam pengelolaan sampah. Kita tidak jalan di tempat,” kata Sri Bebassari.
Saat membicarakan mengenai UU Pengelolaan Sampah, kita tidak mungkin lepas dari peran wanita kelahiran Bandung, 28 Juni 1949 ini. Dia adalah sosok penting dibalik lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2008. Pengalamannya dalam bidang pengolahan sampah sejak awal tahun 80, membuat Sri paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan undang-undang yang khusus mengatur tata kelola sampah.
Semua berawal dari pengalamannya beberapa kali melakukan studi banding ke luar negeri, melihat bagaimana sampah di sana bisa dikelola dengan baik, dipilah dengan baik, bahkan bisa jadi listrik. Namun, ia acapkali gagal saat dirinya mencoba meniru dan menerapkannya di Indonesia. Dari kegagalannya itu ia sadar bahwa yang dicontohnya hanya setengah saja. Salah satu penyebabnya, negara-negara tersebut sudah memiliki undang-undang tentang pengelolaan sampah sementara di Indonesia belum.


“Sempat kemudian saya riset ke Jepang. Di sana bisa sebagus itu dalam pengelolaan sampah karena tenyata sudah punya UU sampah sejak seratus tahunan yang lalu. Mulai dari namanya Waste Law, sampai sekarang undang-undang sampah di Jepang sudah beranak pinak. Tiap daerah sudah punya peraturan daerah masing-masing yang berbeda sesuai kondisi dan kebutuhannya,” kata Sri.
Munculnya wacana UU Pengelolaan Sampah juga tidak lepas dari adanya kejadian longsor tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang pada tahun 2000 yang memakan korban jiwa. Setelah kejadian itu, beberapa pihak dimintai pendapatnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk Sri yang saat itu mewakili Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tempatnya bekerja sebagai peneliti bidang pengolahan sampah.
Saat itu, Sri memberikan pendapatnya bahwa masalah yang terjadi hanya masalah di permukaan karena akarnya adalah ketidakadaan UU yang mengatur secara jelas mengenai pengolahan sampah. Dari pandangan Sri tersebut, DPR memberikan dukungan hingga dibuatlah draf rancangan UU oleh Menteri Lingkungan hidup.
Proses ini tidak mudah, bahkan sampai Sri pensiun pada tahun 2005 rancangan UU belum juga disahkan. Bahkan sampai terjadi lagi longsor di tempat pembuangan sampah, kali itu di Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat, 21 februari 2005. Kejadian itu juga yang menjadi momen bagi Sri untuk kembali mendorong DPR, Menteri Lingkungan Hidup saat itu Rachmat Witoelar dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga akhirnya pada tanggal 7 Mei 2008, secara resmi Indonesia untuk pertama kalinya memiliki UU pengolahan Sampah.
Perjuangan Sri Bebassari dalam mewujudkan UU tersebut dan pengalaman puluhan tahunnya dalam pengolahan sampah juga yang akhirnya membuat dirinya mendapat julukan sebagai Ratu Sampah Indonesia.
Memiliki UU Pengelolaan Sampah memang tidak lantas membuat masalah sampah di Indonesia dengan mudah selesai begitu saja. Namun undang-undang jelas menjadi langkah awal demi terciptanya tata kelola sampah yang baik.
“Butuh proses memang, Jepang butuh seratus tahun dan Singapura juga butuh 40 tahun untuk sampai seperti sekarang. Namun apa kita mau selama itu? Kalau ada ‘contekan’ harusnya bisa lebih cepat,” kata Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Sri yang mulai tertarik dengan bidang pengelolaan sampah sejak dibangku perkuliahan mendapati bahwa masalah sampah sangat multidimensi, bukan hanya sebatas engineering. Hal ini juga yang membuatnya tertarik untuk lebih mendalami kajian mengenai sampah.
Sifat multidimensi dalam permasalahan sampah pula yang membuat pengelolaan sampah menurutnya tidak bisa diselesaikan dalam satu aspek pendekatan saja. Setidaknya butuh lima aspek yang harus terpenuhi, mulai dari aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, teknologi dan sosial budaya. Kelima aspek ini tidak bisa tidak harus berjalan beriringan, satu tidak berjalan maka semuanya akan percuma.
“Saat ini bicara pengelolaan sampah terlalu dominan bahasanya soal teknologi, sementara yang lainnya belum,” keluhnya.
Bekerja sebagai peneliti sistem pengelolaan sampah BPPT sejak tahun 1980, secara resmi Sri Bebassari telah memasuki masa purnabakti pada tahun 2005. Namun masa pensiun tidak bisa menghentikannya untuk terus berkecimpung dalam bidang yang sudah sangat dicintainya ini.
“Sampai saat ini kalau ketemu orang saya masih sering dapat pertanyaan masih ngurussampah? Paling saya jawabnya,”kok masih? selama kita masih hidup ya masih akan terus ngurus sampah”,” kata Sri.
Buat Sri hal demikian dianggapnya sebagai tantangan bagi dirinya untuk berani berbeda. Mengelola sampah juga dianggapnya sebagai ibadah. Dia sering mengumpamakan apa yang dilakukannya seperti perawat. Kalau perawat di rumah sakit mengurus manusia, dirinya mengurusi kotoran kota.
“Sejak awal berkecimpung dibidang ini juga sudah banyak diketawain, dibilang orang aneh, ngapain sekolah tinggi-tinggi malah ngurus sampah,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Meski sudah tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil, Sri saat ini masih aktif memberikan masukan-masukan terkait pengelolaan sampah kepada pemerintah. Salah satunya pada rancangan Peraturan Presiden mengenai Kebijakan Strategi Nasional Sampah Rumah Tangga (Jakstranas) 2015-2025. Di usianya yang tidak lagi muda, Sri juga masih terus aktif memimpin satu-satunya organisasi di Indonesia yang fokus pada persoalan sampah, Indonesia Solid Waste Association (InSWA).
Dalam kesehariannya, Sri lebih banyak menghabiskan waktu di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari, Jakarta Pusat. TPST milik pemerintah DKI Jakarta yang sudah berdiri sejak tahun 2000 tersebut, melalui kerja sama Dinas Kebersihan DKI Jakarta saat ini pengelolaannya diserahkan kepada InSWA. TPST yang juga merupakan laboratorium InSWA ini merupakan hasil kerja Sri mengubah gambaran TPS yang identik dengan kotor dan bau, menjadi TPS yang ideal, rapi, bahkan tidak berbau dengan menerapkan teknik pengomposan pada setiap sampah organik yang masuk ke TPST Rawasari.
Keberhasilan pengelolaan sampah di TPST Rawasari ini juga membuat peraih penghargaan Kalpataru tingkat Nasional 2015 ini semakin sibuk karena setiap hari ada saja yang datang, baik untuk sekadar melihat, belajar dan melakukan penelitian, bukan hanya dari Indonesia namun juga dari negara lain.
Dengan beragam pengalamannya dan pengetahuan yang dimilikinya, wanita yang juga pernah menjadi konsultan Bank Dunia ini mengaku masih banyak pekerjaan rumah yang ingin ia wujudkan termasuk melakukan transfer of knowledge kepada generasi muda dan membuat sebuah buku.
“Keinginan saya pembangunan dibidang kebersihan ini sejajar dengan transportasi, listrik, dan lainnya. Pengelolaan sampah harus bintang lima, jangan hotel saja. Kalau buat airportpemerintah berani keluarkan uang 20 triliun, buat TPA juga,” katanya berharap.

(sumber: greeners.co & inswa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cahyo Alkantana

Kisah Ibu Sri Sumarwati (Ketua Umum Forum Komunikasi PKBM Indonesia, mengumpulkan anak-anak jalanan)